Selasa, 29 Desember 2009

RENE DESCARTES

RENE DESCARTES

Olh: Ika Puspita PMB NIM 09709251014

Rene Descartes lahir di La Haye Touraine Perancis pada tanggal 31 Maret 1596 dari sebuah keluarga borjuis. Ayahnya adalah seorang pengacara yang aktif berpolitik sementara ibunya telah meninggal pada saat usia Descartes masih 1 tahun. Descartes dimasukkan ke sekolah La Fleche pada usia 8 tahun, di sana ia belajar ilmu-ilmu alam dan filsafat skolastik lalu kemudian pada tahun 1613 melanjutkan studi-nya di Universias Poiter, bukan memperdalam filsafat melainkan belajar ilmu hukum. Dua tahun kemudian atau tepatnya tahun 1615 Descartes pergi ke Paris untuk belajar matematika dan setelah itu pada tahun 1617 ia di kirim ke Jerman untuk dinas militer di bawah pimpinan Pangeran Bavaria. Dalam karir militernya Descartes tidak terlalu menonjol, ia lebih banyak memanfaatkan filsafat militer kepada buku besar alam dan melancong ke berbagai negara besar ketimbang terlibat pertempuran dalam peperangan.

Sementara melancong, Descartes tetap membaca dan menulis pikiran-pikirannya sehingga ia bisa berkenalan dengan tokoh-tokoh pemikir lainnya. Di dalam kematangan berpiirnya, Descartes tidak sepi dari orang-orang yang mengecam pemikirannya, bahkan kecaman yang tekera dating dari almamaternya sendiri, yaitu para Yesuit yang pernah mengasuhnya di sekolah La Fleche. Ajarannya dianggap sesat karena telah menyimpang jauh dari ajaran agama katolik.

Dalam Discourse de la Methode, Descartes menceritakan bagaimana semenjak anak-anak ia mengagumi cirri-ciri ilmu pasti. Ia ingin sekali memperbaharui segala bidang pengetahuan manusia berdasarkan contoh ilmu-ilmu itu khususnya dengan menggunakan cara kerja ilmu pasti yaitu apriori dan deduktif. Pada usia 22 tahun, Descartes berhasil mengembangkan geometri analitik. Pemahamannya itu ia rumuskan dalam sebuah kamar yang memiliki tungku di tepi sungai Donau. Ia mengajukan prinsip deduktif, yaitu merumuskan sesuatu dari sebuah aksioma yang paling sederhana kemudian dikembangkan terus hingga diperoleh pemahaman yang rigid. Dalam ilmu matematika Descartes juga terkenal karena koordinat Cartesius. Menurut Descartes koordinat ini memperlihatkan bahwa dengan sepasang garis lurus yang berpotongan sebagai garis-garis pengukur,suatu jaringan garis petunjuk dapat disusun, tempat bilangan-bilangan dapat ditarik sebagai titik. Penerapan dari konsep yang diungkapkan oleh Descartes ini dapat dilihat dalam entuk grafik,dengan sumbu x dan sumbu y.

Descartes juga tokoh ilmu Faal. Sebagai ahli ilmu Faal ia banyak mempelajari tentang susunan saraf dan reflex-refleks. Selain itu Descartes juga banyak membahas tentang kejiwaan. Mengenai tingkah laku manusia, Rene Descartes membaginya atas:

1. Tingkah laku rasionil. Ini erat berhubungan dengan jiwa yang disebutnya sebagai Unextended Substance. Karena dikuasai oleh jiwa, seseorang dapat merencanakan atau meninjau kembali sesuatu tingkah laku.

2. Tingkah laku mekanis. Ini berhubungan erat dengan badan yang disebutnya sebagai Extended Substance. Karena erat hubungannya dengan badan, maka terjadi gerakan otomatis seperti refleks-refleks.

Melalui uraiannya mengenai Interaksionisme, Rene Descartes berusaha mencari hubungan antara jiwa dan badan. Diketahui olehnya bahwa kelenjar-kelenjar endokrin(kelenjar buntu) dalam tubuh pada umumnya berpasangan. Tetapi ada satu kelenjar yaitu kelenjar Pinealis yang terletak pada dasar otak yang merupakan kelenjar tunggal. Karena itu ia menyangka bahwa kelenjar Pinealis inilah yang merupakan penghubung antara aspek kejiwaan dan ketubuhan. Rangsang-rangsang ketubuhan diteruskan melalui kelenjar ini ke aspek kejiwaan dan demikian pula sebaliknya. Dalam interaksionisme ini berbeda dengan pandangan Psychophysical parallelism yang dipelopori oleh Gottfried Wilhelm Leibnitz yang beranggapan bahwa badan dan jiwa masing-masing berjalan sendiri-sendiri tetapi keduanya tunduk pada hukum-hukum yang serupa.

Rene Descartes juga terkenal sebagai tokoh filsafat Rasionalisme. Pemikirannya ini bersumber dari pemikiran Filsuf besar Islam Imam Al-Ghazali, karena beberapa waktu setelah Al-Ghazali meninggal karya beliau diterjemahkan ke bahasa latin oleh intelektual Eropa. Di benua ini Al-Ghazali dikenal namanya sebagai Algazel. Ternyata filsuf Perancis Rene Descartes juga mempelajari karya Al-Ghazali. Buktinya, seorang professor Tunisia pernah membaca terjemahan latin karya Al-Ghazali di perpustakaan nasional Perancis dan menemukan tulisan tangan Descartes di buku itu. Descarter menulis:” Pindahkan ini ke metode kita” pada buku Al-Ghazali tersebut. Namun, filsafat Descartes tetap berbeda dengan Al-Ghazali. Descartes tidak memasukkan sufisme dalam filsafatnya, tetapi aspek rasional dari pemikiran Al-Ghazali yang ia utamakan.

Filsafat rasionalisme berpendapat bahwa benda terdiri dari dua macam hakikat sebagai asal sumbernya, yaitu hakikat materi dan hakikat ruhani, benda dan ruh, jasad dan spirit.. Materi bukan muncul dari ruh dan ruh bukan muncul dari benda. Sama-sama hakikat. Kedua macam hakikat itu masing-masing bebas dan berdiri sendiri, sama-sama azali dan abadi. Hubungan keduanya menciptakan kehidupan dalam alam ini. Contoh yang paling jelas tentang adanya kerjasama kedua hakikat ini ialah dalam diri manusia.

Rene Descartes menamakan kedua hakikat itu dengan istilah dunia kesadaran( ruhani ) dan dunia ruang( kebendaan ). Ini tercantum dalam bukunya Discours de la methode (1637) dan Meditations de Prime Philosophia(1641). Dalam bukunya ini pula ia menuangkan metodenya yang terkenal dengan Cogito Descartes(metode keraguan Descartes/ Cartesian doubt).

Satu hal yang membuat Descartes sangat terkenal adalah bagaimana ia menciptakan satu metode yang betul-betul baru di dalam berfilsafat yang kemudian ia beri nama metode keraguan atau dalam bahasa aslinya dikatakan sebagai Le Doubte Methodique. Berdasarkan metode ini, berfilsafat menurut Descartes adalah membuat pertanyaan metafisis untuk kemudian menemukan jawabannya dengan sebuah ilmu dunia yang pasti, sebagaimana pastinya jawaban di dalam matematika.

Untuk menentukan titik kepastian tersebut Descartes memulainya dengan meragukan semua persoalan yang telah diketahuinya. Misalnya ia mulai meragukan apakah asas-asas metafisik dan matematika yang diketahuinya selama ini bukan hanya ilusi belaka. Jangan-jangan apa yang diketahuinya selama ini hanyalah tipuan dari khayalan belaka, jika demikian adanya maka apakah yang bisa menjadi pegangan untuk menentukan titik kepastian?. Mula-mula ia mencoba meragukan semua yang dapat yang dapat diindera, obyek yang sebenarnya tidak mungkin diragukan. Ia meragukan badannya sendiri. Keraguan itu menjadi mungkin karena pada pengalaman mimpi, halusinasi, ilusi dan juga pada pengalaman dengan ruh halus ada yang sebenarnya itu tidak jelas.

Pada empat keadaan sseorang dapat mengalami sesuatu seolah-olah dalam keadaan yang sesungguhnya. Di dalam mimpi seolah-olah seseorang mengalami sesuatu yang sungguh-sungguh terjadi persis seperti tidak mimpi(jaga), begitu pula pada pengalaman halusinasi, ilusi dan kenyataan gaib. Tidak ada batas yang tegas antara mimpi dan jaga. Akibatnya ia menyatakan bahwa ada satu yang tidak dapat diragukan, yaitu saya sedang ragu. Boleh saja badan saya ini saya ragukan adanya, hanya bayangan, misalnya atau hanya seperti dalam mimpi, tetapi mengenai saya sedang ragu-ragu benar-benar tidak dapat diragukan adanya.

Menurut Descartes, setidak-tidaknya aku yang meragukan semua persoalan tersebut bukanlah hasil tipuan melainkan sebuah kepastian. Semakin dapat meragukan segala sesuatu maka semakin pastilah yang diragukan itu adalah ada dan bahkan semakin mengada(exist). Dengan demikian tidak bisa dipungkiri lagi bahwa keraguan justru akan membuktikan keberadaan semakin nyata dan pasti. Semakin ragu maka akan semakin merasa pasti bahwa keraguan itu adalah ada, karena keraguan itu adanya pada diri maka sudah tentu diri sebagai tempat bercantolnya rasa ragu itu pasti sudah ada terlebih dahulu.

Meragukan sesuatu adalah berpikir tentang sesuatu dengan demikian bisa dikatakan kepastian akan eksistensi diri bisa dicapai dengan berpikir. Descartes kemudian mengatakan Cogito ergo sum atau dalam bahasa aslinya dikatakan” je pense douc jesius” yang artinya adalah aku berpikir maka aku ada. Dengan metode keraguan ini, Descartes ingin mengokokohkan kepastian akan kebenaran, yaitu”cogito” atau kesadaran diri. Cogito adalah sebuah kebenaran dan kepastian yang sudah tidak tergoyahkan lagi karena dipahami sebagai hal/ide yang sudah jelas dan terpilah-pilah(idée Claire et distincte, idea clara et distincte). Ide yang jelas dan terpilah-pilah itu ada tiga macam, yakni kesadaranku(res cogitans), keluasan(res extensa) dan adanya yang sempurna(ens perfectissimum). Masing-masing idea itu adalah aku menurut Descartes, pusat kesadaran sama dengan jiwa belaka, keluasan terwujud dalam dunia material, termasuk tubuh manusia dan yang sempurna Tuhan. Dari adanya ketiga idea ini semua lainnya yang ada menjadi masuk akal dan dapat diturunkan(dibuktikan melalui jalan deduksi) sesuai dengan hakikat masing-masing.

Cogito tidak ditemukan di dalam metode deduksi ataupun intuisi, melainkan ditemukan di dalam pikiran itu sendiri, yaitu sesuatu yang dikenali melalui dirinya sendiri, tidak melalui kitab suci, pendapat orang lain, prasangka ataupun dongeng dan lain-lain yang sejenisnya. Menurut Descartes”keberadaan” suatu benda adalah yang ada dalam pikiran saya. Hanya benda-benda yang ada dalam pikiran saya saja yang benar-benar ada. Dan inilah kunci pokok paham rasionalisme yaiu paham filsafat yang mengatakan bahwa akal(reason) adalah alat terpenting dalam memperoleh pengetahuan dan menguji pengetahuan. Karena itu sifatnya hanyalah sebuah metode maka tidak berarti Descartes menjadi seorang skeptic, melainkan sebaliknya Descartes ingin mennjukkan kepastian akan kebenaran yang kokoh jelas dan terpilah melalui metode yang diperkenalkannya ini.

Rene Descartes juga mempelajari emosi pada manusia. Dikatakannya bahwa emosi pada orang dewasa adalah hasil differensiasi dan proses conditioning daripada enam emosi dasar yang dapat dilihat pada anak-anak. Keenam emosi dasar itu adalah love(cinta), joy(kebahagiaan), wonder(heran,ingin tahu), hate(benci), desire(keinginan) dan sadness(kesedihan).

Hidup Rene Descartes berakhir pada usia 54 tahun tepatnya di tahun 1650. Descartes meninggal akibat penyakit influenza. Penyakit itu mungkin disebabkan oleh kehidupan kerasnya selama tinggal di Swedia. Meski dijemput dengan kemegahan kapal perang oleh Ratu Christian, Descartes harus rela diseret dari tempat tidur pada pukul 5 hingga 6 pagi tiap harinya untuk member kulia pribadi mengenai filsafat kepada Ratu Swedia yang berkemauan keras tersebut. Padahal selama di Perancis, Descartes biasa bangun pukul 11 siang, akibat dari kondisi kesehatannya yang tidak mendukung.

Daftar Pustaka

Bakhtiar,Amsal.(2005) Filsafat Ilmu. cet II. Jakarta: Raja Grafindo Persada Press.

Dirgagunarsa,Singgih.(1978) Pengantar Psikologi. Jakarta: Mutiara Press.

Parikesit,Arli Aditya(2009) Epistemologi Imam Ghazali dan Rene Descartes. http://netsains.com/epistemologi-imam-ghazali-dan-rene-descartes.

Verhaak,C dan Imam Haryono. (1989) Filsafat Ilmu Pegetahuan. Jakarta: Gramedia Press.

Yuti(2007) Rene Descartes. http://myscience blogs.com/matematika/2007/07/04/rene-decartes.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar